Alvin Lie - detikFinance
Jakarta - Tengah hari, Rabu 12 Januari 2011, saya sedang makan siang sambil ngobrol dengan seorang teman ketika masuk pesan melalui BlackBerry. Isinya singkat, "Mandala jam 5 sore ini akan umumkan stop operasi. Seluruh pilot Mandala menunggu keputusan CEO jam 5 nanti". Hati saya terhenyak, kaget.
Sebenarnya sudah sekitar setahun sebelumnya saya mendengar kesulitan keuangan yang dihadapi Mandala, namun saya tidak menduga akan secepat ini Mandala masuk kedalam krisis keuangan yang sedemikian serius. Untuk meyakinkan kebenaran berita tersebut, saya menghubungi beberapa teman yang bekerja di Mandala. Ternyata memang demikianlah keadaannya.
Mandala Airlines merupakan salah satu maskapai yang cukup tua di Indonesia. Mulai beroperasi pada tahun 1969, Mandala berkembang mengandalkan pesawat jenis Vickers Viscount dan kemudian memperkuat dengan armada Lockheed L-188 Electra. Sempat mengalami naik-turunnya industri penerbangan di Indonesia, pada pertengahan 1990’an, Mandala meningkatkan daya saingnya dengan menggunakan pesawat Boeing 737-200. Sekitar 10 tahun kemudian, untuk meningkatkan efisiensi Mandala berangsur mengalihkan armadanya ke Airbus A-320 dan A-319, menuju one-aircraft-family policy.
Safety Record
Selama hampir 42 tahun beroperasi, Mandala menorehkan prestasi keselamatan penerbangan yang cukup baik. Tercatat hanya mengalami 7 kali insiden serius atau kecelakaan berat. Kecelakaan pertama yang tercatat terjadi pada 7 Januari 1976 pada pesawat Vickers Viscount 806 dengan registrasi PK-RVK di Bandara Sam Ratulangi, Manado. Pesawat dengan 13 penumpang dan 3 awak itu berusaha mendarat dalam kondisi cuaca hujan, mendarat sekitar 500 meter dari awal landasan pacu, mengalami overshoot dan kemudian berhenti sekitar 180 meter melampaui ujung landasan pacu. Tidak ada korban jiwa dalam kecelakaan tersebut.
Pada dekade 1980-an Mandala mengalami 3 kali kecelakaan, yaitu di Semarang, di Yogyakarta dan di Medan, namun tidak ada korban jiwa di ketiga peristiwa tersebut.
Kecelakaan pertama yang mengakibatkan jatuhnya korban jiwa terjadi pada 24 Juli 1992. Ditengah hujan lebat, pesawat Vickers Viscount dengan registrasi PK-RVU itu menabrak gunung Lalaboy, Ambon, pada ketinggian 2300 kaki, ketika dalam proses akan mendarat. dilandasan pacu 04 bandara Pattimura. Tidak ada satupun dari 63 penumpang dan 7 awak yang selamat.
Setelah tragedi itu, safety record Mandala tidak menunjukkan terjadinya insiden serius selama 13 tahun, hingga 5 September 2005. Penerbangan Mandala 091, Boeing 737-200 dengan registrasi PK-RIE gagal lepas landas di bandara Polonia, Medan dan terhempas menghantam kawasan Padang Bulan. Dari 112 penumpang, tercatat 95 tewas, semua dari 5 awak tewas dan korban didarat 49 orang tewas. Dalam sejarah Mandala Airlines, kecelakaan di Medan merupakan yang paling parah.
Dalam sejarah penerbangan sipil Indonesia, tragedi Mandala 091 di Medan merupakan peringkat 2 dalam jumlah korban jiwa. Hanya kalah dengan kecelakaan Airbus A-300 Garuda dengan registrasi PK-GAI, yang kebetulan juga terjadi di Medan, ketika akan mendarat. Dalam tragedi tersebut 12 awak dan 222 penumpang tewas sehingga total korban jiwa 234 orang.
Setahun kemudian, tepatnya 3 Oktober 2006, kembali Boeing 737-200 Mandala mengalami kecelakaan di Tarakan. Namun tidak ada korban jiwa dalam insiden tersebut.
Dengan sedikitnya jumlah insiden serius atau kecelakaan, Mandala dapat dikategorikan sebagai maskapai penerbangan yang cukup tinggi prestasi keselamatannya.
Kesan dan kenangan pribadi
Saya mengenal Mandala Airlines ketika masih remaja. Saat itu tetangga saya di Semarang, Bapak Slamet Rahardjo (almarhum) merupakan pelanggan setia Mandala. Beliau rajin mengumpulkan sampul tiket dan sobekan boardingpass Mandala untuk kemudian ditukarkan dengan tiket gratis. Memang saat itu Mandala cukup berani berpromosi dengan memberikan tiket gratis kepada pelanggan setianya (sekarang populer disebut frequent Flyers). Setiap kali mendapatkan tiket gratis dari Mandala, Pak Slamet dengan penuh semangat berbagi kegembiraannya, sekaligus mempromosikan Mandala. Beberapa tahun kemudian ternyata Pak Slamet menjadi mertua saya.
Secara pribadi, saya mempunyai pengalaman manis dengan Mandala. Peristiwa terjadi sekitar tahun 1995, ketika saya akan pulang dari Jakarta ke Semarang. Saya belum mempunyai tiket, langsung mengadu nasib mencari penerbangan sedapatnya di bandara Soekarno-Hatta. Waktu itu saya menjadi anggota frequenty flyer Sempati Air dan Garuda. Namun kedua maskapai tersebut sudah penuh untuk penerbangan ke Semarang. Mandala menjadi pilihan alternatif saya. Ternyata pada hari itu Mandala melakukan penerbangan perdana untuk pelayanan menggunakan Boeing 737-200 ke Semarang dan saya sangat beruntung menjadi penumpang dalam penerbangan perdana tersebut, dimana para petinggi Mandala juga terbang dalam penerbangan yang sama. Bedanya mereka duduk dibaris depan, sedangkan saya sebagai penumpang biasa mendapat tempat duduk dibaris agak belakang. Namun saya tetap senang dan bangga karena penerbangan itu merupakan penerbangan bersejarah. Untuk pertama kalinya bandara Ahmad Yani, Semarang didarati penerbangan komersial yang menggunakan Boeing 737-200, sedangkan Garuda masih menggunakan Fokker F-28 dan kadang BAE-111, sedangkan Sempati menggunakan Fokker F-27.
Mandala Hard Landing?
Kembali ke awal tahun 2011, Mandala memang menghadapi situasi yang cukup pelik. Sejak sekitar 1 tahun terakhir, Mandala praktis hanya mengoperasikan 5 pesawat saja, namun manajemen Mandala menunjukkan ambisi yang luar biasa dengan membuka rute ke Singapura, Hong Kong dan Macau. Minimnya jumlah pesawat dihadapkan kepada pengembangan rute tentunya berdampak pada ketepatan jadwal penerbangan (On Time Performance), sehingga menimbulkan kekurangpuasan terhadap pelanggan Mandala, yang pada akhirnya mengakibatkan turunnya daya saing pula.
Disamping kesulitan keuangan yang dihadapi sejak beberapa waktu, tahun 2011 ini juga merupakan batas waktu bagi Mandala untuk menambah jumlah pesawat yang dioperasikannya menjadi 10 pesawat, sesuai dengan prundangan yang berlaku. Apabila Mandala tidak mampu memenuhi jumlah minimal pesawat tersebut, maka ijin terbangnya dapat dicabut oleh Direktorat Jenderal Hubungan Udara.
Untuk dapat terus eksis Mandala wajib mendapat guyuran dana segar untuk mendatangkan sedikitnya 5 pesawat lagi. Sementara, dari sisi operasi bisnis sangat mungkin kinerja keuangan Mandala kurang sukses sehingga para pemiliknya, Cardig Air dan Indigo Partners, perlu berpikir ulang. Menambah modal atau menghentikan operasi atau mengalihkannnya kepada investor lain.
Rabu 12 Januari 2011, Mandala Airlines memasuki turbulensi kuat yang mengguncang. Manajemen Mandala mengeluarkan pernyataan resmi bahwa perusahaannya mengajukan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) ke Pengadilan Niaga Jakarta. Akankah manajemen Mandala selaku Pilot in Command, mampu menerbangkan perusahaan keluar dari turbulensi dan melanjutkan penerbangan yang telah dirintisnya sejak 1969? ataukah Mandala akan mengalami hard landing yang berakibat total loss?
Sungguh sangat memprihatinkan jika harus ada lagi maskapai penerbangan nasional yang rontok. Apalagi saat ini Indonesia sedang mengalami pertumbuhan jumlah penumpang dengan sangat pesat. Saya hanya mampu mendoakan yang terbaik bagi Mandala Airlines. Semoga ada solusi yang baik untuk menjamin hak-hak para pekerja, para mitra usaha dan para pelanggan.
Happy landing, Mandala.
Alvin Lie, Penerbang dan pemerhati penerbangan.
(qom/qom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar